Kehidupan sehari-hari tidak lepas dari peran akal budi seseorang. Beragam perbuatan yang dilakukan manusia agar bisa melangsungkan kehidupannya. Bahkan tidak jarang pula manusia melakukan berbagai cara licik untuk memenuhi hasrat buruknya.
Budi atau akal yang baik hendaknya dilakukan dalam perbuatan yang positif. Akal yang baik dapat memudahkan tujuan yang ingin dicapai. Namun tidak untuk cerita fiksi berikut ini, akal budi justru digunakan untuk perbuatan tipu daya mahkluk yang lemah. Mau tau serunya, yuuk simak dan ambil himahnya langsung ya!!!
Di suatu tempat hiduplah seekor ular sedang termenung di bawah pohon rindang. Usianya yang sudah renta membatasi pergerakannya. Ia sadar dirinya sudah tua. Badannya lemah dan gerakannya tidak gesit lagi. Sejak beberapa hari ia kehilangan kesempatan menangkap mangsa. Penglihatannya yang kabur dan sergapannya yang lambat, membuat mangsa yang lewat di depan mulutnya, kabur sebelum tertangkap. Berhari-hari ia menahan lapar. Badannya yang kurus bertambah kurus saja.
"Ajalku telah dekat," pikirnya. "Tetapi aku tidak boleh menyerah. Bukankah nenek moyangku menasihatkan, bangsa ular harus selalu bersemangat muda dan cerdik"
la teringat akan sebuah kolam di tengah semak-semak tak jauh dari tempatnya beristirahat. Ia akan mencoba sebuah akal. "Siapa tahu kodok-kodok yang bernyanyi-nyanyi setiap malam itu bisa diajak bertukar pikiran," desisnya sambil merayap perlahan-lahan.
Di tengah cuaca terik seperti itu, tak seekor kodok pun yang muncul ke tepi kolam. Ular tua itu menunggu dengan sabar. Perutnya yang lapar bertambah lapar, dan badannya yang penat bertambah lunglai. Akhirnya ia tertidur pulas.
Seekor anak kodok meloncat-loncat mengejar anak jangkrik. Ia terkejut melihat ular yang melingkar di tepi kolam. Ia takut lalu segera memanggil teman-temannya.
"Awas! Hati-hati!" demikian teriak kodok-kodok yang bermunculan.
"Tak usah takut, Anak-anakku!" kata ular tua itu setelah dibangunkan oleh teriakan kodok. "Aku datang ke sini untuk menyerahkan diri kepadamu."
"Bohong!" teriak beberapa kodok sambil membelalakkan mata. "Paling-paling kamu akan mencaplok kami."
"Apa yang kukatakan sungguh benar, Anak-anakku! Aku datang ke sini untuk menjalankan sebuah kutukan. Sebelum ajalku tiba, aku harus menuruti kutukan itu," sahut ular itu dengan suara lemah.
Kodok-kodok yang mudah percaya itu saling pandang. Mereka sepakat untuk menyampaikan berita ular aneh itu kepada rajanya. Sang Raja pun tertarik mendengar kejadian itu, lalu segera melongok. Namun ia tetap waspada. Oleh karena itu ia bertanya kepada ular yang terkapar itu dari jarak jauh.
"Kamu adalah musuhku. Setiap kata yang kau ucapkan pasti berbahaya bagi kami," kata Raja Kodok.
"Ampun, Tuanku Raja!" jawab sang Ular. "Ajalku hampir tiba. Mataku buta dan badanku sangat lemah. Amat sulit bagiku mendapatkan makanan"
"Jadi kamu datang ke sini untuk memangsa semua kodok?" tanya Raja Kodok curiga.
"Ampun, Tuanku Raja! Kecurigaan Tuanku berlebihan. Dengarkan dulu ceritaku," kata sang Ular dengan napas terputus putus.
"Karena buta, aku salah menangkap mangsa. Aku masuk ke sebuah ruang pertapaan. Di situ aku mencium bau seekor kodok. Aku mencaploknya dengan penuh nafsu. Tetapi apa yang terjadi? Yang kugigit itu bukan kodok, tetapi sebuah jari putra pertapa. Putra yang sangat dicintainya itu wafat seketika. Tentu saja ayahnya sangat marah, lalu mengutukku."
"Apa kutukannya?" tanya Raja Kodok yang mulai percaya akan cerita sang Ular.
Ular itu melihat ratusan kodok berjejer di atas permukaan kolam. Namun ia tetap berlaku sebagai hewan buta yang lemah dan tak bernafsu menangkap mangsa.
"Aku wajib menjalani hukum karma," lanjut ular itu. "Sebelum ajal tiba, aku harus menggendong kodok-kodok. Selama itu aku harus menahan lapar. Kasihanilah aku, wahai Tuanku Raja! Berilah aku kesempatan untuk menjalani kutukan itu."
Wajah Raja Kodok tampak sedih. Demikian pula kodok kodok lainnya. Raja Kodok merangkak perlahan-lahan ke pinggir kolam. Ia mencoba berdiri dekat ular. Benar, ular tua itu buta, pikirnya. Raja Kodok lalu meraba-raba badan ular. Benar, ular itu sangat lemah. Raja Kodok lalu meloncat ke punggung ular. Ular itu menggeliat-geliat, lalu melata perlahan-lahan, kemudian melenggang-lenggok.
Raja Kodok amat senang. Ia merasakan kenikmatan yang luar biasa. Sepanjang hidupnya ia belum pernah merasakan bagaimana nikmatnya mengendarai kereta ular yang panjang dan lembut itu. Raja Kodok menggeser tempat duduknya, maju ke dekat kepala ular, lalu ia memanggil anak buahnya untuk berjejer duduk di atas punggung ular.
Kung kek, kung kek ...! Kodok-kodok itu berebutan memanjat kereta. Kung kek, kung, kek ...! Kodok-kodok itu bergembira ria sambil bernyanyi-nyanyi. Kung, kek, kung, kek ...! Demikian permainan yang menyenangkan itu berlangsung berhari-hari.
Tibalah pada suatu waktu, kereta ular yang menggeliat-geliat itu, berhenti seketika. "Apa yang terjadi, hai, Ular Tua?" tanya Raja Kodok.
"Ampun, Tuanku Raja" jawab ular itu. "Aku sudah tak mampu menahan lapar. Sebentar lagi ajalku akan tiba."
Raja Kodok berpikir keras. Kalau ular itu mati, maka kodok kodok akan kehilangan kenikmatan mengendarai kereta. Raja mengajak beberapa kodok yang berpengaruh merembugkan sesuatu.
Sebentar kemudian, katanya, Jangan khawatirkan hal itu, hai Ular Tua! Mulai saat ini kamu boleh makan dua ekor kodok setiap hari. Bangsa kodok sepakat berkorban, demi memperpanjang hidupmu.
Singkat cerita, ular tua itu mencoba memakan dua ekor kodok. Mula-mula kelihatan ia tidak bernafsu, tetapi lama kelamaan ia mulai merasakan sedapnya daging kodok. Kereta pun bergerak berlenggang-lenggok, makin lama makin bersemangat. Dan kodok kodok pun terlena akan kenikmatan berkereta di atas punggung ular.
Tenaga ular itu makin besar. Ia tidak saja meliuk-liuk di pinggir kolam, tetapi juga berlenggak-lenggok di dalam kolam.
Sambil menggendong puluhan kodok, ia juga memangsa kodok kodok yang lewat di depannya. Bukan dua ekor, bukan lima ekor. tetapi ia mencaplok kodok-kodok itu sekehendak hati. Terakhir ia mencaplok Raja Kodok, seraya berkata, "Yang bodoh pasti menjadi korban kecerdikan".
Pesan moral yang terkadung pada cerita fiksi tersebut adalah selalu waspada dan hati-hati akan setiap perbuatan serta tipu daya orang lain. Milikilah pengetahuan dan keterampilan yang cukup agar tidak mudah ditipu daya. Terkadang sifat orang lain yang pura-pura lemah dan mengharap belas kasian yang besar membuat perasaan kita iba dan mudah tergoyah.
Tulusnya perbuatan seseorang tidak mampu kita ukur. bantuan orang lain yang ditawarkan secara tiba-tiba pasti memiliki latar belakang dan tujuan tertentu. Modus dan fulus umumnya menjadi tujuan akhir yang mereka peroleh. Semakin baik seseorang tentu menjadi pertanyaan besar di benak kita. Terkadang ketulusan bantuan yang seseorang tawarkan hanya menunggu kesempatan baik untuk bisa menuai imbalan yang jauh lebih besar.
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca cerita fiksi insfirasi yang berjudul “Ular Cerdik dan Katak”. Semoga dengan adanya cerita fiksi tersebut dapat memberikan sebuah hikmah positif bagi kita semua dan semoga memberikan pembelajaran bermakna.
Kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas situs www.liangsolusi.com ini. Semoga postingan yang disajikan bermanfaat untuk kita semua.
Mari berkolaborasi dan tebarkan perilaku baik dengan membagikan postingan ini di media sosial kalian! Budayakan meninggalkan komentar dan sebarkan jika bermanfaat setelah membacanya.
0 comments:
Posting Komentar